Kenalan sama bedil Ciss Cal 22
Ra puas mbedil dengan bedil angin, pengen rasanya ngrasakke mbedil pakai senapan gede dan ngrasakke mburu kewan gede. Denger dari critane kawan-kawan kok kelihatanya sangat menantang, tapi gimana ya, kemana nyari informasinya dan saya belum punya kenalan pemburu gede yang rata-rata adalah orang sugih dan jarang mau bergaul dengan orang-orang macam kita. E.. ndilalahnya kok saya dapat kenalan mas Kedho pakem yang punya temen di Ambarawa bernama mbah Kasdhi yang juga pemburu binatang besar terutama kijang. Dari situ saya coba belajar dari beliau karena saya rasa beliau juga selevel sama saya jadi penak mau banyak tanya atau nimba ilmunya.
Singkat cerita saya akhirnya kenalan dengan mbah Kasdhi yang rumahnya di Ambarawa arah rawapening, SPN Banyubiru naik sampai Kebumen terus kekanan sampai dusun Kayuwangi. Mbah Kasdhi adalah pensiunan Polhut Perhutani dan orangnya ramah khas para pemburu senior. Beliau banyak cerita tentang pengalamanya berburu ke banyak daerah dan yang paling menyenangkan adalah beliau katakan kalau cuman kijang saja di hutan belakang rumah masih banyak dan beliau ajak saya nyoba mbelor jalan kaki dan saya senegnya bukan main. Beliau juga menunjukkan senjata beliau yang ternyata adalah senapan inventaris jagawana dulu yaitu senapan spring patah lop merek Diana Model 45 Call 22 atau lima setengah mili yang sudah dimodif jadi senapan api call 22 dengan mengganti klep pendorong angin dengan pemukul primer dari obeng kecil dan sangat sederhana. Saya baru tahu kalau senapan angin call 5,5 mm bisa dirakit jadi senapan api, makanya senapan kaliber 5,5 mm dilarang peredaranya dan harus dengan izin khusus. Dari tampilanya sangat tidak meyakinkan karena dari fisik senapanya wagu pool mana popornya buatan sendiri tanpa teleskop lagi, opo yo mitayani. Kami berangkat berlima dengan satu belor dan setelah saya amati ternyata hanya dengan senter tiger biasa yang dimodif dengan meggunakan lampu reting sepeda motor 6 volt dengan daya accu 12 volt hingga cahayanya terang seperti lampu halogin dan accu bisa lebih awet. Dan setelah saya amati lagi ternyata revlektor lampunya menggunakan revlektor kuningan yang neurut beliau dengan cahaya kuning hewan jadi lebih tenang dan tidak giras, wah tambah deh ilmunya. Berangkat dari rumah menyusur jalan menanjak sampai ahir perkampungan di lereng Gunung Gajah Mungkur masuk daerah tegalan tanaman singkong dan sayuran terus sedikit menurun sampai daerah kebun kopi. Sampai di situ kita berhenti karena terlihat kilatan mata agak besar berwarna kehijauan di bawah rimbunya tanaman kopi, sedikit berbisik mbah Kasdi meminta kami berhenti dan hanya saya yang diizinkan ikut mengejar. Sambil mencari jarak tembak beliau memberi arahan supaya saya berjalan halus dan mencari jarak paling ideal, posisi kami sedikit diatas sasaran lurus menghadap kearah kami dan beliau mulai membidik lalu duarrr.. satu tembakan tepat diantara dua mata sedikit meleset di atas alisnya hingga sasaran tidak langsung roboh. Satu tembakan lagi dari senapanku Benjamin Sheridan 397 dari jarak dekat sukses merobohkan sasaran, sukses pertama ngebrukke kijang walaupun cuman mindhoni, senenge bukan main. Kijang dewasa jantan dengan tanduk cabang dua dan sudah cukup panjang sangat-sangat memuaskan. Dua orang dari rombongan kami pulang membawa hasil buruan dan kami lanjutkan berburunya sampai ke baerah hutan pinus dan terlihat lagi kilatan cahaya mata kehijauan diantara semak rumpun glagah alang-alang dan kesempatan ini diberikan pada saya untuk menyelesaikan. Tukar peralatan hingga senjatapun ganti saya yang pegang, beliau berpesan agar sanggat berhati-hati menggunakan senjata tersebut dengan selalu mengingat arah dimana kawan-kawan menunggu dan jangan asal tembak kalau belum yakin. Dengan sedikit ngewel dan kaki gemeten saya maju mencari posisi tembak terbaik dan coba mendekati sasaran, beberapa kali saya berhenti mengatur nafas agak lama hingga saya bisa tenang kembali dan posisi serta jarak tembak memenuhi. Kira-kira jarak 6 - 7 meteran saya mulai membidik sasaran, sasaran posisinya menyamping hingga terlihat utuh bersih dari samping, tidak pd mbidik kepala saya bidik posisi leher dibelakang telinga. Tahan nafas, bidik dan duarrr. kijang masih bediri ditempatnya, panik saya jangan-jangan luput, mana peluru dibawa simbah Kasdhi lagi, nek mau mindoni pakek apa, akhirnya si kijang sempoyingan lalu ambruk tetapi berusaha bangun lagi. Takut buruan lari, bedil saya taruh, kijang saya tubruk dan saya gelut sambil bengok-bengok memanggil teman-teman. Ndak lama mereka datang terus kijang dipindoni dengan bedil saya dan akhirnya lewat juga. Lama saya gemetaran lalu saya bangkit meneliti buruan pertama saya, ternyata kijang jantan juga dan ukuranya lebih gede dari yang tadi. Saya tanya ke mbah Kasdhi kok sekali tembak jarak segitu ndak langsung mati padahal tembakanya tepat di posisi vital, beliau katakan mungkin karena kalibernya yang kecil hingga kurang mematikan untuk binatang sebesar itu mungkin juga karena laras senapan angin tidak didisain untu senapan api hingga daya rusaknya rendah, ya maklum cuman senapan rakitan. Mulai saat itu saya makin kancilen piye carane nyari bedil ciss pingin banget punya karena sensasi mbedil kewan gede lebih uasik dan ternyata tekniknya juga tidak jauh beda dengan teknik mbedil kewan lainya. Kami lanjut pulang karena dua ekor dirasa cukup untuk kami, malam itu suasana hati saya suenenge pooool , sampai dirumah mbah Kasdhi kijang langsung saya kuliti, saya bayangkan memajang opsetan dua kepala kijang jantan tanduk cabang dua dan yang satu bedilanku dewe. selesai menguliti saya mandi di pancuran sebelah rumah, habis mandi kita makan lauk daging kijang hasil buruan kami, eunake rakaruan. Menjelang subuh kami pamit pulang dan saya janjian sama beliau untuk mbedil kesana lagi dan beliau pesen kalau bisa cari amunisinya karena amunisi ciss disana sangat susah didapat dan akan saya usahakan.
Beberapa bulan beselang saya ketemu teman polisi bernama mas Naryo yang juga pernah cerita kalau juga pernah mbedil kijang bareng temenya, dari dia saya dapat info kalau teman saya pak Tutut pegawai kantor Keuangan Negara masih punya amunisi call 22 karena waktu mbedil sama mas Naryo pak Tutut yang punya pelurunya. Beberapa waktu berikutnya saya sempatkan sowan kerumah pak Tutut dan saya tanyakan apakah masih punya sisa amunisi, untungnya beliau masih punya sekitar limabelas butir merek PMC Zipper seperti yang saya pakai di ambarawa dan boleh saya genteni. Bermodal limabelas butir peluru itu saya kembali dolan ke Ambarawa naik sepeda motor dan beberapa kali point kijang. Pengalaman yang paling berkesan adalah kala mbedil bareng om Sarbini, waktu itu peluru tinggal tiga butir, dari rumah naik motor suzuki RC 100 sampai di rumah mbah Kasdhi, beliaunya sedang pergi keluar kota. Ndak patah arang saya langsung cabut naik karena untung bedil mbah Kasdhi saya tau tempat menyimpanya, saya berdua jalan naik sampai pinusan kekanan terus turun sampai kebon kopi naik lagi ke punggungan bukit motong jalur malah kebingungan kehilangan arah. Naik kearah pinusan besar ketemu kijang besar dipinggiran jagang, sekali sikat ngulung tapi masuk ke jagang dan dari suaranya kelihatantya bukan jagang tapi jurangan yang sangat dalam. Daripada cari jalan turun dan mamutar nanti kangelan niteni arah jatuhnya, kami putuskan untuk menuruni jurangan yang ternyata sangat dalam dan hapir dua jam saya turuni dengan merambat di perakaran pepohonan dan bebatuan terjal kami belum juga sampai dibawah, setelah ketemu tanah yang agak rata dan ada tanaman kopi, legalah hati kami berarti kami sudah samppai daerah rata dan kebetulan juga nasib baik buat kami karena kijang tembakan kami tadi langsung ketemu tanpa kangelan mencari. Noto napas sesaat lalu kami berdua cari kayu kopi untuk pikulan buruan kami yang ternyata kijang betina. Selesai mengikat kami jalan sambil mikul buruan sesekali juga mbelor untuk cari jalan. Ndilalahnya kok ada kijang jantan gede datang motong jalan kami, sepontan saya bidik dan sekali tembak tepat tengah antar mata langsung ambruk dan kami lebih kangelan lagi mikulnya.Semakin berat saja beban kami berdua dengan mikul dua buruan kiri kanan, tetapi nasib nek lagi bagus, ndak lama datang lagi kijang jantan motong jalan kami. Kami yang sudah kabotan mbawa buruan udah males nembak hingga kami usir saja , tapi dasar kijang ngeyel sudah digusah malah nantang akhirnya ya duarr mampus sisan. Tiga peluru tiga buruan, tapi sayangnya kita sudah lempoh le mudun jurangan masih harus mikul tiga pulang kerumah yang kelihatanya masih jauh. Mondag-mandeg sebentar-sebentar leren noto napas akhirnya sampai juga si jalan aspal desa yang saya rasa sudah tidak jauh dari rumah mbah Kasdhi. Saya bilang ke om Sarbini kalau jalanya ke arah kanan menuju rumah, tapi om Sarbini ngeyel bilang kekiri terus ada belokan pohon asam gede terus sampai. Akhirnya saya manut dengan susah payah mikul tiga masih lewat jalan aspalan ndesa yang aspalnya sudah pada mengelupas tinggal krikilnya yang kalau dipijak sakit sekali dan kalau tudak ngambah aspalan pinggiranya bayak pohon durinya padahal kami jalan tanpa sandal karena sandal kami pedot waktu turun jurang tadi. Lama kami jalan kok ndak sampai-sampai mana kaki makin sakit juan kaya nangis-nangisa rasane tapi om Sarbini tetap yakin kalau jalanya bener. sampai ahirnya ketemu orang lewat saya tanya arah ke dusun Kayuwangi, ternyata benar kami salah arah bukan semakin dekat tapi tambah jauh dan kami harus balik arah sekitar dua kilo lewat jalan aspal yang menyiksa. Lemes kabeh rasane bisanya cuman misuh-misuh mbayangke mikul tiga jalan turut aspalan rusak adohe rajamak. Untung orang yang lewat berbaik hati dengan menyuruh kami menunggu disitu dan dia maik sepeda ketempat mbah Kasdi untuk ngabari anaknya supaya kami dijemput. Kunjuk syukur dhalem Gustii akhirnya bisa tertolong, ndak lama ada dua sepeda motor mendatangi kami dan ternyata mas Imam putra mbah Kasdhi beserta tetangganya datang menjemput kami. Selamat kami sampai dirumah langsung mandi terus pamit pulang karena hari sudah subuh, kijang saya bawa satu yang dua ditinggal dan terus pulang sampai Jogja dan turut ndalan misuh-misuh mengingat kejadian malam itu.
Setelah hari itu saya lama tidak dolan ke rumah mbah Kasdhi walaupun sering dipesenke kawan-kawan yang pada dolan kesana, waktu itu saya sudah menikah dan punya anak bayi anakku yang pertama Yogesti Widyaning Tyas dan aku mulai masuk kerja di Pemda Sleman. Hanya sekali saya pernah kesana mampir dan ketemu beliau dan saya bawakan amunisi sekitar duapuluh butir yang saya dapat dari dikasih mas Antok, beliaunya senang sekali karena sudah lama ngak mbedil sebab kehabisan peluru. Wah kaya nyimpen beras sekarung iki kata beliau kala saya berikan peluru tersebut. Eh ternyata pertemuan itu adalah pertemuan saya dengan beliau yang terakhir, beberapa tahun berikutnya saya dengar kabar kalau beliau sakit dan meninggal. Sugeng tindak mbah, mugi tansah cinaket ngarsa dhalem Kristus, Amin...