Rabu, 07 November 2018

Penembak Jadul 16. ( Lanjutan Ekspedisi Sumatra "Ngetutke Pemburu Tradisional di Jambi Sesen 2")

Hari berganti malam kala saya lihat arloji menunjuk pukul setengah sembilan dan bergegaslah ngenceng menuju rumah Pak Paidi untuk nyidakke le kangsenan mbelor hari ini. Sampai rumah Pak.Paidi beliaunya juga sudah mulai toto-toto menyiapkan peralatan berburunya dari mulai bedil kecepek andalanya , sepatu bumbung, parang golok, air minum sampai dengan bekal makan malam. Tidak lupa lampu belor yang ternyata bukan menggunakan energi listrik atau aki tetapi masih sangat tradisional dengan menggunakan daya penerangan dari api dengan bahan bakar karbit yang dicampur air hingga menghasilkan gas yang ditampung dalam kaleng disalurkan dengan selang kecil dinyalakan di revlektor kuningan dari bekas revlektor lampu mobil lama yang terlebih dahulu harus dibrazo biar mengkilat dan lebih terang cahayanya. Alat seperti ini kalau di jawa biasa disebut Pethor dan biasane untuk nyuluh kodok. Dengan alat seperti ini opo yo isoh weruh kewane karna disamping kurang padang juga jarak jangkauanne pastilah tidak akan jauh. Tak tanyakke ke Pak. Paidi beliaunya beralasan kalau pakai alat ini sasaran akan lebih jinak tidak bedigasan karena cahaya kuning dari revlektor kuningan membuat kewan lebih tenang tidak waspada walaupun memang jarak jangkauan penyinaran jadi lebih terbatas. Wehhhhh tambah ilmu anyar ki...

  Lampu Karbit dipasang dikepala


Seperti biasanya saya nyangking bedil Cis, lampu halogin handlamp dengan aki kering 12 volt, senter cadangan dan tidak lupa sepatu bumbung dan botol minum. Berangkat jam setengah sepuluh bertiga dengan dua sepeda motor, saya boncengan dengan kang Maryono sedangkan Pak Paidi pakek motor sendiri. Sampai lokasi kami parkir sepeda motor terus dilanjut jalan kaki nrobos kebon karet sambil mbelor kanan kiri dan sesekali ketemu kewan cilikan dari mulai luwak, rase juga blacan dan kolo-kolo ketemu burung hantu gede dan ternyata masih komplit dari dua jenis yang saya ketahui dua-duanya masih bisa ditemukan di sini. 



Gogok Beluk

di Jawa masih ada 





Gedubuk Jali 
Pakai kaos kaki 


Terus kami berjalan sambil mbelor kiri kanan sampai dengkule murup melet-melet tapi belum ketemu sasaran juga. Sampai batas kebun karet dan kebun sawit mulai kelihatan beberapa kali kelebatan pantulan sinar mata dari rombongan babi hutan alias celeng yang sesobo sak keluarga akeh tenan mungkin bisa malah sak trah. Bedil tak kongkak tapi dicegah oleh Pak Paidi katanya suara tembakanya nanti akan ngusahi kewan yang jadi target utamanya dan sakumpama bisa kebedil nanti akan membebani perjalanan selanjutnya karena berat untuk membawanya. Akhire rombongan celeng saya biarkan berlalu dan hanya saya kasih say hallo dan saya lanjut jalan lagi. Belum lama berjalan saya kembali menemukan kewan sek rupane apik tenan perpaduan antara warna hitan dan putih dengan bulu ekor njeprak ke atas besarnya sebesar kucing. Ora sronto terus nyaut bedil angin yang dibawa kang Maryono terus langsung tak kejar, Pak Paidi kembali ngelekke tapi kali ini tidak saya hiraukan karena bedil angin suwarane ndak keras lagiyan kan pakai peredam juga kewane apik tenan penasaran aku pingin ngopset dan majang di rumah. Bedil tak pompa kewan tak bidik tepat terus tak tembak tepat di kepala dan kewanpun langsung kekejek mampus segera tak dekati mau tak ambil, ndilalahe sebelum tak ambil pak Paidi mbengoki saya mencegah saya untuk tidak ngambil kewan itu karena ternyata kewan itu adalah Telgu atau senggung yang sangat bau bila kentut, dan benar saja sebelum takambil kewane sempat ngentut ambune juan pooool marahi muntah sama raisoh napas. Untung belum sido takambil, nek sido tak ambil lak yo parah, katanya baunya kalau nepel di baju tidak bisa ilang dan pakaian harus dibuang. Untung-untung , mangkane kalau di hutan jangan waton openan....




Telgu bin Senggung
Entutmu mambune koyo entute penulise


Hampir tiga setengah jam berlalu perjalanan kami menembus hutan alas tutupan sampai tembus lagi kebun karet barulah yang kami cari-cari bisa kami temukan. Kilatan mata hijau dengan posisi yang tinggi kami yakini itulah kilatan mata dari rusa sambar yang kami cari-cari. Segera Pak Paidi menyiapkan bedil kecepeknya begitu juga dengan saya yo melu melu ngongkak bedil cis sapa tau nanti diperlukan untuk mindoni. Lampu karbit dinyalakan dan pak Paidi bergegas berjalan kearah kewan tersebut yang ternyata telah bergeser posisinya menuruni punggungan jagang. Saya mengikuti di belakang beliau dan memang kewane besar tenan meh sebesar sapi tanggung berwarna coklat kehitaman dengan bulu rada gondrong sayang tanduknya belum panjang. Ternyata benar kata pak Paidi kalau dibelor dengan cahaya lampu karbit kewane tidak bedigasan buktinya kami bisa mendekat sampai jarak limabelas meter bahkan bisa semakin dekat. Disaat jarak tembak sudah memungkinkan senapan segera diarahkan, dibidik dan tak lama duarrrr letusan kecepek membahana memenuhi ruang hutan dan kewan sasaran mumbul njondil-njondil negar mblandang. Kang Maryono nututti kami berdua terus barengan nggoleki arah perginya kewan sasaran dan untungnya hutannya tidak terlalu lebat hingga tetesan darah kewan buruan bisa kami ikuti. Sekitar jarak seratus meter dari tempat kami mbedil akhirnya ketemu kewan buruan dan ternyata lagi masih hidup thenggel-thengel tapi sudah tidak bisa nbangun. Pak Paidi segera ngiseni bedile dengan obat, pemantik dan peluru dan ndilalahnya kewan buruan berusaha bangun meh mlayu. Spontan saya nyedaki sampai jarak lima meteran terus bidik tenggah-tengah antara dua mata dan walaupun ora pati yakin dengan bedil cis saya tetep wae bedil taktembakke dan ternyata kewane ambruk juga. Wehhh klakon juga nibakke Rusa Menjangan walauoun cuman mindoni, tambah pengalamane...

 Ilusstrasi kiro-kiro beginilah 
gambare rusa menjangan

Rampung ngebrukke rusa buruan, kami bertiga terus sambatan ngeret-eret hasil buruan dibawa ke tempat yang rada padang dan tenggar. walaupun cuman deket tapi karna kewane gede ternyata berat tenan dan kami bertiga nganti melet-melet dan setelah sampai tempat yang terbuka terus kami berembug dan disepakati kami pulang duluan dan pak Paidi nunggu buruan biar tidak diambil macan sambil kami nanti mbaleni dengan membawa teman sebagai bala bantuan. 

Dari lokasi sampai tempat kami naroh sepeda motor ditempuh kira-kira meh satu jaman dan sepanjang perjalanan karena hari meh pagi kembali saya ketemu kewan kewan hutan yang cantik-cantik. Dimulai dari si Kukang kewan berperangai halus klular-klulur dan juga ketemu trenggiling yang terus ditendang sama kang Maryono langsung nggulung jadi kaya bola. Trenggiling terus dicangking dicekeli buntutnya dan katanya enak daginggnya untuk dimasak. 

Kukang klular-klulur
pemalas
Trenggiling pemakan semut


Sampai di lokasi motor hari sudah mulai pagi di timur sudah rada padang tak liat jam sudah pukul empat lebih sepuluh pagi dan segera nggeblas pulang ke kampung nyangking trenggiling terus sampai rumah tak wadahi tong bekas drum air biar ndak ngabur. Barang-barang tak turunke terus reresik awak lanjut golek konco buat njemput pak Paidi. Ketemu sudah tiga orang tetangga rumah dan berangkatlah kami berlima jam setengah enam dan akhirnya sampai di lokasi dengan motor Tosa roda tiga. Sepanjang perjalanan kembali saya absen kewan-kewan yang ada di kiri kanan jalan yang kami lalui. Diantara yang kami temui adalah beberapa rombongan kera Beruk yang ekornya pendek badanya besar berwarna coklat kemerahan disamping beberapa grup kera ekor panjang. Selain beruk ada juga kera Simpai berwarna cerah keputihan dan ada juga sang kancil dan bebrapa burung rangkok.



Ketemu sedulur lawas Mas Berux


Koh Sim Phai juga ada
 
 Kancil Nyolong Timun

Rangkok yang cantix



Sampai di lokasi kewan buruan ternyata sudah mulai dicicil dikuliti oleh pak Paidi dan dengan bantuan kami akhirnya selesai kita menguliti kemudian dipotong-potong dan diangkut dengan motor Tosa dan akhirnya sampai di rumah untuk selanjutnya dijual dengan harga tujuhpuluh lima ribu perkilo dan sebagian dibagikan pada kami dan kawan-kawan yang membantu. Tanduk dan sedikit kulit saya minta untuk saya bawa pulang ke Jawa sebagai kenang-kenangan dan pajangan di tembok rumah. Enam hari lamanya saya berlibur sambil ngosek buruan di Jambi sisan tilik Mbokdhe rasanya kok masih belum cukup, sayange masa cuti wis habis dan saatnya pulang, see you.. nex time.. (ethok-ethoke ngganggo boso londo ben rodo kekinian) ihierrrr....


Minggu, 07 Mei 2017

Penembak Jadul 15. ( Lanjutan Ekspedisi Sumatra, "Ngetutke Pemburu Tradisional di Jambi )


Dolan Njambi Tilik Mbokdhe

Belum tutug dolan ke Bengkulu, kembali saya ngluyur ke Jambi tempat mbokdhe Karsinem yang masih saudara jauh dari ibu saya. Suami Mbokdhe Karsinem yaitu alm. Pakde Samijo adalah Transmigran asal daerah Tempel Sleman yang diberangkatkan pertama sekitar tahun 1975 dengan model bedhol desa kala terjadi banjir lahar gunung Merapi. Seingat saya beliau tinggal di desa Pandan Retno kecamatane lupa masuk Kabupaten Sarolangun yang merupakan daerah perkebunan kelapa sawit dan karet. Pakdhe juga punya kebun karet juga sedikit kebun sawit yang dulu sebagai plasma dari perusahaan. Daerahnya berupa pegunungan dan kebun sawit wang berbatasan langsung dengan hutan alam hingga kewane masih komplit.
Cuti satu minggu saya berangkat dari Jogja jumat sore naik pesawat sambung jalur darat lima jam sampai di sana pagi hari dan kali ini saya sempatke bawa bedil Cis merek Wischo Erlagen produk German bolt action call 22 engkel atau single shoot atau isian satu-satu taktumpangi telescop Vira 3-9 x 40 bedil api pertamaku setelah gabung di PERBAKIN. Pertimbangan saya mbawa bedil cis karena dengan caliber kecil rada luwes bila nantinya ketemu kewan besar seumpama ketemu babi hutan asal tidak terlalu gede masih wani ngayahi dan kalau ketemu kewan cilikan juga masih bisa disikat kewane ndak ambyar.

 Cis Wischo Erlagen engkel Call 22
bene kuno ning mitayani

Habis mandi terus mubeng sonjo tempat sedulur-sedulur sampe siang ndak ngopo-ngopo terus sore baru bisa nglitih ke kebon ngluyur-ngluyur sambil lacak galur sisan survey kewan apa yang bisa dibedil. Saya ditemani kang Maryono anake mbokdhe muter-muter seputaran kebon sawit dan ternyata tapake celeng rame banget dan ternyata menurut kang Maryono memang celenge pol akehe. Wah rasane ati berbunga-bunga mbayangke nanti malem nggitiki celeng mesti nyenengke poll. Nunggu malem sambil ngobrol sama tonggo-tonggo jan rasane koyo neng jowo wae, isine mung wong Sleman . Dari ceritane masyarakat situ kalau pada mburu babi pakai anjing dan bronjong terus dioyak-oyak sak lemese nanti kalau bejo ya ada saja babi yang masuk bronjong atau perangkap dari kawat baja terus ditumbak. Terus jarenya juga ada beberapa pemburu tradisional yang mburu kewan pakai bedil rakitan atau di daerah situ dinamai bedil kecepek. Wehh marahi penasaran pingin ngerti gimana mbedilnya.

Malam harinya persiapan mbelor nyiapke belor aki dan bedil langsung mangkat mbelor pakai motor Biet turut kebonan sawit. Belum lama jalan sudah ketemu blacan sama rase jan kewane jinak-jinak pol, diparani ndak pada mlayu malah mapan. Mesakke ndak sido tak bedil dasare eman-eman plurune rugi kalau dicis wong dibedil pakai bedil angin saja mati, tak tinggal neruske mbelor.

Rase mlenuk nggemesake


Sang blacan tersenyum manis

Tak lanjut mbelor semakin dalam ke perkebunan sawit, blacan sama rase hanya tak helooo saja mesakake liat kewane ayu-ayu dan di Jogja dah angel tenan le nemoni. Bablas kedalam kebon langsung dipetukke rombongan celeng alias babi hutan yang isine sekeluarga induk dan anaknya duabelas ekor, wehh celeng di sini ternyata do ora KB anake akeh-akeh tenan. Gage bedil terus tak kokang terus bidik babone yang paling gede, ndilalahnya kepalane ketutupan pohon sawit jadi coba tak bedil sekernya. Duarr satu tembakan tepat sasaran wong cuma jarak limolas meter, wehh ternyata peluru kaliber 22 itu tidak patiyo ngefek sama babine, babi cuma mbengok terus oper presneleng njur ngegas bablas masuk gerumbul mbuh mati mbuh ora. Anake pada bubar njrantal separan-paran masih ketok beberapa ekor meh tak bedil kok masih cilik masih agak lorek-lorek.

Dilanjut mbelor makin kedalam kebon sawit ndilalah ketemu mata gede rada ijo tapi ndak begitu jelas karena agak jauh. Penasaran coba tak cedaki sambil nyiapke bedil sampai jarak pandang semakin jelas dan ternyata bukan babi gede yang saya temui lha kok malah ketemu Tapir alias Trenuk. Langsung balik kanan merga serem liat kewane lemu besar warnane hitam dan bokonge putih kaya kemulan anduk, lucu ya. Wee alah neng Sumantrah kui kewane kok ya werna-werna.

Trenuk oh trenuk

Nerus mbelor nyasak kebon sawit kembali ketemu babi hutan alias celeng, kali ini dua ekor lanang-lanang sek satu gede sek satu jemaka tanggung. Langsung bedil tak kokang dan kali ini saya tidak mau mengulang kegagalan yang tadi, tak pilih yang kecil bobot sekitar 50 kiloan dan kali ini saya bidik pas belakang telinga dan kebetulan kewane anteng baru makan rontogkan sawit. Duarr tembakan tepat jarak sepuluhan meter celeng langsung ndeprok keke'jek ndak lama terus mampus. Yang besar mlayu tetapi tidak jauh malah terus mogok di pinggiran parit dan cuba tak cedaki. Bedil kembali tak isi peluru dan tak kokang kembali tak bidik posisi belakang telinga. Duarr tembakan kedua dari jarak sepuluhan meter dan ndilalahnya kewane pas gerak dadine tembakan meleset malah kena di belakang seker agak atas mungkin kena tulang belakange. Mbeker-mbeker mau mlayu tapi karna gardanya pedot ban belakang ndak bisa jalan cuman yang  depan nakur-nakur ndungsar-ndungsar rakaruan sambi bengok-bengok sero tenan. Kesempatan ngisi peluru terus tak pindoni belum mati masih tak tambahi pisan lagi kena mburi kuping baru tepar, mbasan tek tiliki ternyata celengnya gede tenan mungkin bobot sekitar 70 - 80 kilo.  Ho Hooo ternyata bisa juga celeng gede tepar musuh cis raketang dibedil peng tiga.

Halo Om celenk..

Point dua ekor, hasil bedilan terus takunggahne ke sepeda motor, weaduh... ternyata berat banget sape sepeda motor ndak kuat ngangkat momot celeng dua plus penumpang dua nganti nggasruk-ngasruk rakaruan. Akhire sepakat celeng tak tinggal pinggir jalan terus meh tak ambil besuk pagi harinya.

Dari kebun sawit bergeser ke kebon karet pinggiran alas tutupan atau hutan asli alami yang belum dirambah, dalam perjalanan sekali lagi ketemu babi bin celeng tak tembak lagi dua kali baru mati. Kali ini babine bobot sekitar 60 kilonan, jarak tembak sekitar limabelas meter pas kena belakang alis mata ndilalahe kok yo ambruk mbuh mati po cuman semaput yang penting bisa mindoni. Setelah babi dikondisikan lanjut mbelornya dan beberapa kali weruh mata warna ijo kekuningan rada gede tur juga duwur pas tak parani ternyata sapi milik penduduk yang diangon bebas berkeliaran tidak dikandang, untung belum takbedil bisa tombok nantinya. Ketemu lagi dengan mata hijau tapi kali ini kok rada bedigasan, coba takcedaki malah bablas tapi sekilas kok bentuke ndak kaya sapi tapi mbuh kewan apa itu akhirnya ndak tak gagas.

Dalam perjalanan pulang ndilalahnya kok ya ada kijang nyabrang jalan lanang wedok ayu-ayu, jane saya ndak tegel mau mbedilnya tapi sama kang Maryono diminta untuk nyikat katanya biar bisa dimasak untuk lawuh dan baru inget nak keluargane mbokdhe itu semuanya Muslim ndak bisa makan daging babi. Bedil tak siapke dan sekali sikat kidang lanang langsung tepar kesasak peluru Zipper pas kena tengah-tengah antara mata dan ndilalahnya sek betina yo endak lari malah nyedak sisan taksempurnakake ben nyusul bojone. Akhire pulang bawa kijang dua ekor dan babine dibaleni kang Maryono pakai motor Tosa roda tiga terus sisan direbahke ke kampung sebelah dimana kampung itu daerah Transmigrasi yang warganya asal dari Pulau Bali.


 Kidang sek wedok sek sempat kepoto

Pagi harinya saya terus ubeg ngeleti kijang buruan tadi malam terus do dikruyuk tonggo-tonggo pada mbantu sampai rampung terus daginge dimasak Mbokdhe sebagian dibagi ke tetangga. Pas ngeleti kok ada tetangga namanya Pak Paidi cerita rada nyepelekane jarenya  kewan koyo ngono kok dibedil, nanggung wong yang gede wae ada kok.... Penasaran saya tanya njur kewane itu apa je, ternyata beliaunya juga pemburu profesional dan yang digoleki diutamakan adalah rusa karena untuk dijual dagingnya dan pas saya dolan kerumah beliau siang harinya ternyata benar di halaman rumah beliau ada jemuran kulit rusa berwarna coklat tua besar banget selebar kulit sapi. Dan ternyata alat berburu beliau adalah senapan tradisional atau senapan rakitan kalau disana dinamakan Kecepek atau dalam istilah jawanya dibilang bedil Koncer buatan sendiri dan ternyata juga mitayani buat ngebrukke kewan sebesar rusa.

Kurang lebihnya begini penampakan
 bedil kecepek / koncer


Nonton potongane sebenarnya bedile jan ora mitayani, bahan larase dibuat dari stang setir mobil colt lawasan atau bisa juga dengan stang stir mobil jeep wilis lawas yang panjangnya lumayan sekitar 65 - 70 cm dan bahane kandel ndak samar nek pecah. Prinsip kerjane sederhana tenan cuman bahan laras ditutup mburine pakai las terus dibolong sekitar ukuran mata boor 2 mm dah cukup begitu saja inti utamanya. Nek dingen-ngen koyo cara kerjane mercon bumbung yang dari bambu diisi minyak tanah cuman bedane nek ini diiseni obat peledak dari obat mercon, pentolan korek bisa juga dengan bahan racikan sendiri. Popor dibuat sendiri dengan kayu sederhana dilengkapi pemici atau hamer pemukul dengan kekuatan per bisa juga dengan karet ban yang ditahan dengan triger sederhana seng penting bisa nyulut obate dengan pemantik doblis atau racikan dewe dari obat korek kayu. Nek jarene jaman dulu sebelum model pakai pemantik doblis cara le mbledoske palai disulut korek api dadine jan nyulet kaya mercon bumbung kae. Untuk pelurune pakai timah dicor di bumbung kecil pucukan bambu terus dibelah dan kalau udah dingin terus dipotongi nganggo arit bentuke rakaruan ada sek kotak, mencong pokoke waton dadi lah.

Penasaran pengen ngerti carane nyiapi perlengkapan para pemburu tradisional ahire saya njenguk tempat Pak Paidi nonton le bikin obate peledak. Bahane dari sendawa digerus dicampur apotas yang digerus juga sedikit karbit dan bubuk arang dicampur terus dipanasi dengan cara digoreng sangan sambil terus diaduk sampai panas tertentu baru dientas. Kemudian ambil sempel sedikit terus disumet dan ternyata bagus hasil pengujiane bahan langsung bresset kebakar habis. Terus saya ngenyang pingin liat cara kerjane dan Pak Paidi membolehkan terus diperagakkan carane ngoperasikan bedil kecepeknya. Pertama-tama angambil obate kira-kira tiga sendok makan terus dimasukkan laras dari depan terus digedruk-gedrukake ben padet terus disumpeli pakai kertas terus disogok dipadetke sampai bener-bener padet karna kakau kurang padet obate cuma ngebos tidak meledak. Dilanjut ngiseni peluru, peluru timah cetakan tadi dicemplungke laras sekitar 5 butir terus digedruk lagi dilanjut disumpeli kertas lagi biar tidak gogrog keluar disogok sampai kenceng. Dah senapan sudah siap untuk mbedil tinggal nyiapi bahan pemantike dari pentolan korek kayu diserut halus dicampur serutan pinggirane kotek kayu yang dipakai untuk ngejresake sek bentuke kaya amplas. Kadua bahan dicampur terus ditempatkan di lubang pemantik terus ditutup pakai greanjeng ditempelke biar bahan pemantik tidak mawut.  Tinggal ngregangake hamer pemukulnya dan nyuba aku sek njeblukke dan bedile blas ranganggo pisir dadine kalau mau mbedil cuma apalan jann elok tenan baru ini aku mbedil tanpa pisir apa lagi telescop. Tak coba bidik wit akasia sebelah rumah dan setelah tepat triger tak tarik dan Duarrr sero tenan suwarane dan sentakane ampuh tenan sampai meh kejengkang saya le njeblukake. Kuping sampai kopoken mbengung rakaruan terus setelah rada reda tak priksa perkenaane ternyata lumayan dahsyat mlebune peluru meh 4 cm kedalan kayu, mulane rusa wae isa mati.

Sepakat kangsenan malam nanti mangkat mbelor sama Pak Paidi itung-itung nambah pengalaman ngetutake pemburu tradisional ben ilmune tambah. Critane perjalanan mbelor bareng Pak Paidi tak sambung di postingan depan ya, nek tak terusake ndak jadi dowo banget ceritane. Ethok-ethoke bersambung........ Ihuii..... 

Kamis, 20 Oktober 2016

Penembak Jadul 14. ( Pengalaman Permbedilan di Luar Pulau )

Manyun, nunggu cewek lewat

Mbasan sudah rodok lama ngosek lokasi-lokasi berburu di daerah sendiri, dan kewan buruan mulai semakin sulit, lama-lama kok pingin juga ya nyubak mbedil ke daerah yang agak jauh syukur bisa keluar pulau. Lama cuman diangen-angen akhirnya terlaksana juga bisa mbedil ke luar pulau. Pengalaman pertama bedil rodok jauh ke luar pulau adalah pertama kali nyobak mbedil ke daerah Talang Rejo Bengkulu. Dari jogja berangkat sore naik bus umum sampai di lokasi sudah malam. Saya menginap di rumah temen kuliah yang dulu pernah kost di Jogja bernama mas Maman Suryaman yang tinggal di Talang rejo Bengkulu.

Mas maman sebenarnya asli dari Sleman karena leluhurnya berasal dari Godean dan orang tua beliau pada sekitar tahun 1975 mengikuti Transmigrasi ke Bengkulu dan Mas Maman sebagai generasi kedua. Selesai kuliah Mas Maman memutuskan untuk tidak merantau tetapi kembali ke tanah kelahiran untuk melanjutkan orang tua bertani. Malam berlalu dan pagi mulai menjelang kala kami bangun tidur terus hendak mandi ke kali di barat kampung dan sepanjang perjalanan saya nikmati hijaunya alam pedesaan yang masih asri, sejuk dan penuh pepohonan tinggi di daerah pegunungan. Beberapa kali mata saya melihat kelebatan bajing yang berlarian dan setelah saya perhatikan ternyata ada beberapa jenis bajing yang ada disana. Yang paling menarik perhatian saya adalah adanya bajing tiga warna (Tri Callor) dengan ukuran dua kali lebih besar dari bajing biasa di Jawa dan dengan warna dasar hitam di punggung , perut kemerahan dan ketiak kebawah berwara putih. Perpaduan warna sangat indah hingga saya saya bayangkan bisa memeliharanya.

Bajink Tiga Warna
Cakep Dehhh

 Disamping bajing tiga warna ada juga jenis bajing yang agak kecil berwarna coklat agak pendek, tetapi anehnya bajing ini tidak pernah memanjat di atas pohon dan  berkeliaran terus diatas tanah, tak pikir apa ini ya yang namanya bajing tanah. Eh ternyata benar itu bajing tanah kalau disana namanya bajing cocor.

Bajink Tanah Garis Tiga

 Bajink Tanah Polos / Bajink Cocor

Ada lagi bajing kecil seperti cluring tapi warnanya beda lebih kemerahan dan ukuranya lebih gede dikit dari cluring jawa dan disini disebut bajing curing malem.


Bajink Curing Malem

Pulang mandi ndilalah juga ketemu jelarang, bajing besar sama seperti di jawa cuman bedanya disini lebih jinak dan relatif lebih gampang ditemukan tidak seperti di jawa yang hanya ada di daerah - daerah tertentu seperti di Cemoro  Sewu Karanganyar.

 Jelarang, Wuauww Cakep

 Sampai rumah terus sarapan lanjut kongkow di teras sambil ngobrol, sejatinya yo pengen lek mbedil tapi sayang dari Jawa tidak mbawa bedil wong rencananya ke Bengkulu tidak untuk berburu tapi hanya untuk dolan. Tanya tanya wong sekitar ternyata di sana tidak mudah untuk membeli senapan angin karena di kota kabupaten waktu itu tidak ada satupun toko yang jual senapan angin jadi bila ingin cari senapan angin harus pergi ke ibukota propinsi yang jaraknya sangat jauh perjalanan sampai 5 jam, ampun deh. 

Mumet kepalane dan daripada tambah mumet saya ikut saja sama Mas Maman pergi ke ladang untuk bersih-bersih tanaman kopi dan ternyata malah tambah mumet karna di  ladang justru tambah banyak kewan buruan yang tertangkap oleh lensa mata ini, tobattttt tobat. Akhirnya tak beranikan diri tanya sama Mas Maman nek saumpamanya pinjem senapan di mana, kiro kiro boleh enggak ya, daripada mati ngenes selak kecut digoda kewan buruan. Tujunya sama Mas Maman saya dikenalke sama pemuda kampung disana yang punya senapan angin  dan katanya boleh dipinjam. Sampai lokasi rumah pemilik senapan sayapun ditembungke sama Mas Maman tapi setelah tau senapanya saya jadi urung untuk meminjamnya. Lha gimana mau pakek , senapanya jenis Benjamin Kuda Terbang buatan Bandung itupun bocar-bocor ndak bisa nyimpen angin lama. Tambah stres saya meh nekat pergi ke kota untuk mbuh piye carane kudu dapet senapan, ndilalahnya nasip baik berpihak pada saya, konconya adike mas Maman punya senapan Sharp Inova Popor Plastik sudah komplit sama teleskupnya , wah lumayan tapi sayangnya tidak boleh dipinjam hanya boleh digenteni atau dibeli itupun herganya larang tenan. Bedil Sharp lawasan popornya plastik nek dirumah paling tak tinggal dilokasi untuk tinggalan para pemandu juga telescopnya hanya merek Nurcinia lensa 32 tanpa pembesaran variabel harganya minta Rp. 2.000.000,- waduhhh luarange puoool. Ehh gandeng kahanan yang mengharuskan seperti itu, harga larangpun tetep tak beli dan buatku cukup untuk nambani sirah yang muntup-muntup mau pecah.

Leyeh-leyeh

Kelakon dapat senapan dan ketika akan kucoba test akurasinya, ehh malah dipesen macem-macem sama pemiliknya. Dia katakan kalau titik perkenaan ada di atas sebelah kiri dari croshair dan dia bilan jangan dirubah-rubah karena katanya sudah pas. Setelah tak coba ternyata memang posisi perkenaannya juga di sekitar itu, waktu saya buka tutup turet untuk zeroing dia malah melarang katanya nanti ndak berubah setelanya. Woww ternyata baru saya ngerti nek disana kalau masang telescop bukanya turet yang disesuaikan zeroingnya tetapi penembak yang ngalah ngapalke dimana titik perkenaanya, karangno pemahamannya baru sampai disitu. Gantian saya jelaskan sambil saya mulai zeroing dan malah saya ganti yang ngajari bila perkenaan bisa disesuaikan dengan croshair sebagaimana mestinya, we malah dadi instruktur. Untungnya senapan yang tak beli itu masih cukup akurat dan telescopnyapun masih lumayan stabil tidak owahan mudah mudahan lancar tak jak mbutgawe.

Oprek - oprek sedikit lanjut seting peredam dan pastiin zeroing tetap nitik terus makan malam dan istirahat nunggu pagi untuk mulai gerilya. Pagipun datang dan hati saya berbunga-bunga lanjut mulai gerilya. Wah juann nikmate mbedil buruanya okeh, pokokmen surga dunia tenan umurnya jadi tambah panjang dua puluh tahun. Saya ngamuk nyampluki bajink macem-macem jenis sampai akhirnya dapat sak renteng itupun belum sampai siang. Puas deh hati ini danburuan terus dikuliti dan dimasak untuk makan sore dan rencananya nanti malam meh nyoba mbelor pengen ngabsen kewan apa saja yang ada disana untuk selanjutnya kapan kapan dibawakne bedil sek besar atau munimal sek genah ngak koyok sekarang pakek bedil darurat.

Malam harinya nyoba mbelor sama anak-anak muda kampung jalan kaki dan ndak terlalu lama sudah ketemu luwak pandan langsung tak sampluk "blugg" tepar. Anak muda yang tak suruh ngambil ternyata ndak berani karna dikira kewanya masih hidup, dia bilang kalau sebelumnya pernah nembak garangan yang ukuranya lebih kecil saja tidak mati apalagi luwak besar seperti itu. Terpaksa deh ngambil sendiri medun perengan dan setelah tak ambil mereka malah pada heran kok bisa ya luwak ditembak pakai bedil angin langsung mati. Lanjut mubeng mbelor lagi, ehh malah ketemu Binturong sejenis luwak besar sakpodo anjing nongkrong di pohon aren, jane bisa sih tak bedil tapi rasane kok eman-eman kewane cantik ketok jinak dan yang pasti itu kewan dilindungi hingga mung saya lewati.

Binturong si Luwax Jumbo


Terus dilanjut mbelornya hingga ketemu mata rada besar tapi pergerakan pindah dari pohon ke pohon kok cepet banget. Tak kejar akhirnya kelihatan binatangnya dan ternyata ukurannya tidak terlalu besar, dan setelah berhasil tak bedil, ehh jebulanya walang kopo atau dibilang tupai terbang kalau di Jawa Barat dibilang tando.
Walank Kopo
 

Walank Kopo Ngendong anak

Capek mbelor kita sak rombongan pulang bawa hasil yang lumayan dan sepanjang perjalanan saya sering sekali dengarsuara burung dermbombok atau ada yang menyebut burung ruak-ruak suwarane banyak rame banget dan bikin saya penasaran coba kapan-kapan tak sempriti pakai sempritan bambu. Sampai rumah sudah rodok pagi karena badan ngantuk berat langsung ketiduran sampai ndak ganti baju dan pagi harinya kala bangun tidur ternyata banyak darah di seputaran kaki, ternyata semalam tak terasa kaki saya dinggo pesta pacet dan mbuh pacete do pergi kemana tinggal darahe pating dlewer di kaki. Ya sudah ora popo itung-itung donor darah.

Pagi harinya bangun rodok kesiangan langsung mandi, bar mandi meh neruske mbedil lagi kok wis kesiangan tur rodok males, akhire ikut saja sama mas Maman dolan ke pasar yang kebetukan hari itu baru pasaran. Sampai pasar terus beli ini itu ehh ndilalahnya kok pad ada bakul jaring manuk. Pucuk dicinta bakul jaring tiba langsung saja saya beli satu ukuran panjang 15 meter tinggi 2,5 meter pas deh untuk cari burung sawah. Ndilalahnya juga kok ya ada bakul dolanan bocah dari bambu ada gangsingan, suling dan macem-macem, pas tak lihat ternyata juga ada sempritan manuk yang suwaranya thulit thulit, weeee cocok kie nanti malam wani tempur.

Seruling Asmara 
Pemanggil Manuk Dermbombok


Siang harinya jadi males untuk mbedil dan akhirnya cuman melu mas Maman ke sawah di selatan dusun yang jaraknya agak jauh dan lokasinya dataran agak rendah serta ada rawa-rawa. Sambil mbantuin mas Maman nebar bibit padi di persemaian atau kalau di Jawa istilahe Ngipuk atau Ngurit, saya sempatke ngabsen kewan kewan yang ada disekitar sawah. Wou ternyata kalau lingkungan masih terjaga binatange juga masih pepak kumplit macem-macem. Sek paling berkesan adalah adanya beberapa burung belibis dan burung sandang lawe juga masih ada burung bango tong-tong, wah kumplit yo.


Manuk Sandang Lawe
di Jawa masih ada tapi udah sulit ditemui


Manuk Bango Tong-tong
lebih langka lagi disini masih banyak

Malam harinya udah do diampiri bocah bocah enom yang kemarin malam tak ajak mbelor ternyata mereka tuman ngajaki mbelor lagi, kali ini ndak tak ajaki melor tapi meh tak ajarin njaring manuk. Mereka tak suruh cari genter bambu atau galah mambu untuk cagak jaring dan membawa karung gandum untuk wadah buruanya. Berangkat kami berlima tanpa bawa bedil hanya bawa bambu jaring dan suling maut untuk nyoba ilmu saya dari jawa tak praktekin disini. Sampai lokasi kami milih tempat yang tenggar terbuka agak jauh dari semak-semak dan mulai kami masang jaring. Setelah jaring dipasang mulai saya bunyikan suling maut dengan suara ajek panjang terus tanpa putus-putus. Thulit  thulit thulit thulit langsung dijawab dengan suwara kicauan ribut kruak kruak kruak kok kok kruak rame sekali. Ndak lama berselang mulai deh satu persatu mereka beterbangan ke arah kami dan karena terbangnya rendah tur bedigasan akhirnya satu dua ekor mulai masuk jaring. Pating grandul jaring meh penuh terus diambili lanjut nyemprit lagi. Malam itu poll senenge karena kami panen sampai hampir duaratus ekor , hepyyy deh.

 Namuk Dermbombok 
atau burung ruak-ruak

Puas deh cuti seminggu dua hari perjalanan empat hari di Talang Rejo Bengkulu bisa ngrasakne sensasi mbedil sumatranan walaupun hanya main cilikan tapi sudah bisa bikin heppy . Akhirnya saya pulang walaupun ndadak molor cutine dua hari mbolos ndak kerja penting bisa nyenengke pikir ndedawa umur. Matur nuwun mas Maman beserta keluarga yang telah menerima kehadiran saya di ndaleme, nanti lain waktu tak kesana lagi dengan persiapan yang lebih oke lagi biar ndak serba darurat, nuwun mas....sehat selalu.

Jumat, 18 Desember 2015

Penembak Jadul 13. (Mbedili Bajink mulai kebon sekitaran rumah sampai luar kota)

Yang namanya bajing mungkin inilah hewan yang terlahir dan tercipta sebagai hewan yang paling tidak pernah bisa merasakan ketentraman hidup. Kewan yang paling tidak pernah bisa merasakan nikmat dari hidup ini. Hidupnya cuman selalu was-was, kemana-mana harus selalu waaspada dan tidak pernah sekalipun merasakan kebahagiyaan. Untung aku dudu bajing..nek ditambahi ngan itu mungkun. Dari jaman dahulu kala wiwit simbah saya atau bahkan sebelum simbah, bajing sudah tidak pernah bisa tidur nyenyak karna bajing adalah salah satu faforit buruan baik secara tradisional ataupun moderen. Menurut ceritane simbah mbiyen jamane simbah masih kecil bajing sudah diburu dengan diplintheng atau diketapel dan waktu itu juga sudah pada dibedili oleh para Ndoro-ndoro sugih yang waktu itu sudah punya duwit lebih untuk mbeli bedil. Sampai detik ini pun si bajing apabila ketemu orang yang bawa bedil entah salah atau tidak mesti bakal ditembak mati atau paling ringgan dioyak-oyak nganti saklempohe.  Oalahhh jing bajing, melasmen nasipmu.

Jaman mbingek waktu saya kecil sekitar tahun 79 sampai tahun 80 an sesekali ada penembak masuk di kebonan sekitar desa saya. Jaman itu rata-rata mereka pakai senapan spring panjang-panjang dan ketoknya ngleleng tenan dan yang pasti sasaram buruan mereka yang utama adalah bajing. Sayangnya bajing itu pulalah yang menjadi hewan buruan pertama saya waktu saya mulai belajar mbedil sampai sekarang belum juga bosen. Sejauh pengalaman saya mbedil gonta ganti nuansa dari mbedil siang sampai malam, dari mbedil manuk emprit sampai babi hutan alias celeng, ternyata yang paling ngangeni tetap selera awal yaitu mbedil bajing. Walaupun bajing kewane kecil tapi super lincah dan sensasi mbedilnya juan luar biasa, ibarat umur kita tambah sepuluh tahun bila bisa nibakke satu ekor saja. 

Tercipta dengan imets sebagai hewan hama kelapa, bajing langsung dinobatkan sebeagai hewan yang paling dibenci pertani. Padahal kalau kita perhatikan sebenarnya jumlah kelapa yang dimakan bajing juga tidaklah banyak hingga bisa merugikan panen petani. Bajing makan kelapa paling banter satu atau dua buah di satu pohon dan belum pernah memakan sampai menghabiskan semua buah dalam satu pohon itupun tidak semua pohon kelapanya disukai oleh si  bajing. 

Dilihat dari jenisnya bajing di seputaran Jogjakarta atau daerah-daerah sekitarnya umumnya terdiri atas tiga jenis yaitu bajing kelapa coklat biasa berwarna coklat kekuningan kadang ujung ekornya berwarna kemerahan , bajing hutan berwarna lebih gelap dengan warna perut abu-abu tua dan ekor sedikit lebih pendek di beberapa daerah dinamakan bajing genduru serta jenis bajing cluring berukuran lebih kecil warna coklat polos bermoncong mancung seperti musang dengan gigi taring juga seperti musang berbeda dari dua jenis bajing yang lain yang bergigi sepasang di depan seperti kelinci dan tikus.  Ada juga jenis bajing besar yang sangat langka yaitu jelarang berwarna kombinasi putih, coklat, abu-abu dan hitam yang berhabitat di tepian hutan dengan ukuran hampir sebesar garangan dengan ekor panjang berbulu jan apik tenan. Sayangnya jelarang kini sudah meh punah terakhir saya lihat di alas Keningar Ndukun Magelang lereng bawah Gunung Merapi. 

Disamping diburu secara moderen dengan senapan angin, bajing juga ada yang diburu secara tradisional dengan jerat, ketapel dan digropyok rame-rame. Saya pernah menemukan metode berburu seperti ini di daerah Bagelen Purworejo dimana satu kelompok pemburu tradisional terdiri atas lima sampai sepuluh orang dengan membawa jerat dari senar diikatkan pada bambu yang sudah diraut menyerupai joran pancing pendek. Pertama bajing dikejar hingga masuk ke pohon kelapa berdiam di pucuk daun yang rapat atau mupus, setelah diketahui posisi bajingnya baru dipelajari pola pelarianya dan jalur jalur yang menyambung antar daun kelapa untuk selanjutnya pemburu memanjat untuk memasang jerat di tengah daun kelapa yang mana akan dilalui bajing untuk kabur. Setelah dirasa cukup, pemburu memajat pohon kelapa tepat yang ada bajingnya sambil menggoyang atau memukul-mukul pohon kelapanya hingga bajing lari berpindah ke pohon kelapa lainya yang mana jalurnya sudah dipasang jerat. Bila beruntung bajing akan terkena jerat bila tidak cara yang sama akan dilakukan lagi. Biasanya bajing akan mogok pada pohon kelapa yang ketiga bila dalam pelarianya lolos dari jerat, pemburu akan bersiaga di sekitar bawah pohon dan seputaran pohon dihujani dengan tembakan ketapel. Apabila dipastikan bajing benar benar mogok, salah satu pemburu memanjat pohon kelapa itu dengan membawa jerat yang batang bambunya agak panjang, lalu dengan hati-hati memeriksa seputaran pupus daun kelapa dimana bajing biasanya sudah diam anteng ketakutan dan diusahakan dijerat dengan senar dan apabila lolos terus meloncat turun pastikan pasukan dibawah bisa menangkap dengan tangan atau apabila lolos lari ke tanah dikejar beramai-ramai dan biasanya bajing tidak lari jauh karena kelelahan dan stres ketakutan hingga mudah ditangkap. Metode ini biasanya mendapatkan bajing dalam kondisi hidup dan akan dijual untuk peliharaan. 

Adapun cara berburu konfensonal yang biasa yaitu dengan senapan tentunya kita semua sudah tau. Waktu yang paling baik untuk berburu bajing adalah pagi hari sebelum banyak angin dan saat bajing bangun tidur dan  mulai aktifitas mencari makan.  Pagi-pagi buta bajing masih pada lapar dan kurang waspada sehingga untuk memburunya tidak terlalu sulit asalkan kita halus dalam bergerak mata awas dan sangat hati-hati melepas tembakan bila belum yakin akan sasaran kita karena akan berakibat pada posisi bajing lainya yang terus mejadi waspada. Berburu bajing saat seperti ini enak dilakukan sendiri karena bisa menikmati moment ngintp bajing, mendekati sampai melepas tembakan, asik tenan. Siangan dikit kira-kira jam tanggung tekniknya berganti dengan teknik adu mata yaitu dimana bajing sudah tidak banyak pergerakan dan mulai banyak yang tidur. Disini sangat dibutuhkan kemampuan melihat yang ekstra awas dari penembak yang harus apal dan teliti mencari keberadaan bajing tidur, tetapi apabila bisa menemukan rasanya enak sekali membidik bajing tidur yang biasanya di ranting pohon yang resik hingga kita bisa milih mau mbedil apanya. Lebih siang ganti lagi dengan metode gropyokan dengan mengumpulkan rekan berburu jadi jalan barengan dan bila melihat pergerakan bajing terus diuber dikepung ditembak beramai-ramai dan apabila mupus di pohon kelapa salah satu rekan kita diminta nggeduk atau ndodog pakai batu besar agar bajing lari hingga bisa terkejar dan tertembak.  Adapun musim yang baik untuk mbedil bajing adalah bilan pada musim hujan hujanya sebentar-sebentar berhenti. dalam kondisi ini bajing akan banyak keluar walaupun sudah kagol luput waktu ditembak atau walaupun sudah lewat waktu pagi apabila habis hujan bajing akan sangat jinak seperti kala pagi-pagi buta. 

Trip berburu bajing saya paling dekat sampai ke daerah Cangkringan perbatasan Klaten, sedangkan trip yang agak jauh dan ramai bajingnya di daerah prambanan seputaran Candi Ijo dengan medan bebatuan cadas dan perbukitan yang tentunya akan banyak menguras tenaga. Daerah Gunung Kidul juga ramai tapi medanya juga kurang lebih sama dan harus latihan tembak rodo jauh. Trip bajing paling berkesan adalah di daerah Mirit Kebumen dimana wilayah itu berupa kebunan disambung desa dan kebunan lagi yang panjang sekali tidak putus-putus. Dulu waktu ramai-ramainya spot ini dalam satu kali berburu untuk penembak yang rada mending untuk start jam lima pagi sampai jam sepuluh satu bedil rata-rata seratus ekor mesti dapat, untuk penembak-penembak pupuk bawang atau masih belajaran rata-rata bisa point sepuluh sampai duapuluh ekor. Sayangnya sekarang lokasi itu juga sudah kurang menjanjikan karena saking banyaknya pembedil lokal dari daerah itu hingga kita sudah tidak uman bajing lagi. Akhir-akhir ini saya masih tlaten metani di daerah wonogiri dan hasilnya juga masih lumayan untuk tombo celik.

Untuk senapan yang saya gunakan dalam berburu bajing masih bertahan dengan Mbok Tuwo yaitu Sharp Innova I seri A3, tetapi berhubung sekarang sudah dapat mbok enom berupa senapan Sharp Ace seri 7  maka mbok tuwo kini banyak tinggal dirumah. Nek tembakan dan mantap bidikanya tetep menang Sharp Ace tapi sayange abote ora ilok kaya bawa blandar wutuhan komplit sak usuke, tapi menange kalau bawa Sharp Ace bila papasan sama rekan penembak bisa sedikit mbagusi dan umuk le bedile apik raketang tembakane rakalap. Hasil nomer dua penampilan yang utama. Kalau mbedil cedak-cedakan waktu sekarang jan pol angele, sehari nutug empat personil dua motor mruput berangkat jam setengah enam paling pol dapet lima itupun sudah prasmanan le mbedil belum lagi lempoh boyoke le ndodogi wit kelopo belum bensin sama miayame. Yah sekedar ndedowo umur sambi ngajari junior saya ben besuk iso neruske dosa turunan kebanggaan keluarga. he he he.. Semangat le..


 
Juniorku 
Emanoel Gestiantoro Sarosa









Rabu, 26 Maret 2014

Penembak Jadul 12. ( Pindah Lokasi Ngamuk Deruk neng Terbah Lor Pathuk )

Manuk Deruk

Pas ada libur hari jum'at kebetulan saya mangkat nniliki kathik masih di lokasi lawas yang di selatan pemancar RCTI Ngoro-oro Pathuk, ndilalahnya buah bulunya sudah menipis hingga manuk kathik yang biasanya melimpah jadi sepi. Saya sama Lek Wiji angop thok kelamaan nunggu padahal saya sudah mruput le berangkat dari rumah. Sepi tenan hingga meh siang saya berdua hanya point empat ekor itupun le nunggu luama tenan. Bosen nunggu akhirnya saya pindah lokasi, nglarah nglarah waton ngolek jalan ndlesep-ndlesep cari jalan turun yang ngak rame tur turut sawah-sawah siapa tau ada sasaran. 

Perut lapar minta diseni, saya menggok ke warung mie ayam langsung pesen dua sama teh panas, sambil nunggu dimasakke saya iseng iseng nglithih turut kebonan sekitar warung siapa tau awan-awanan masih ketemu bajing atau kewan lainya. Mepet rumah penduduk ada dapuran bambu wulung kelihat obah-obah tak cedaki ternyata dua ekor bajing gede warnane rada kuning langsung tak scopp, treger ditarik dan puakk tlebug... bajing tepar. Yang satu munggah pohon wadang tetapi ndak mlayu bablas malah mogok di atas cabang yang resik tur padang. Bedil tak pompa lagi, peluru tak isekke langsung bidik lagi dan satu tembakan lagi bajing satunya tewas  menyusul temanya. Tak bawa ke motor, disandati dan saya kembali ke warung pas mie ayamnya mateng, cocok sama tehnya panas mongah-mongah marai grembobyos padang kahanane ngalam ndonya. Sambil makan saya diskusikan sama Lek Wiji mengenai bajing yang barusan saya tembak, dari pengamatan saya ternyata bajingnya masih kuthuk-kuthuk sepertinya jarang diambah penembak. Dari invormasi penjual mie ayam, memang di daerah itu jarang ada penembak masuk. Kenyang perut kami berdua nutukke mubeng-mubeng turut desa metani bajing hingga sampai kebonan timur desa yang ada sawah berteras dan sepanjang kami mubeng ternyata bajingnya banyak juga hingga kita point tuju ekor dan dua ekor manuk deruk atau tekukur. Sepakat kami akan mbaleni, berangkat mruput ganti acara mbedil bajing.  
Deruk lanang ngemesake

Hari minggu berikutnya saya bareng Lek Wiji jadi berangkatt mruput niat mbajing ke tempat kami kemarin yang ternyata desanya bernama desa Terbah. Sampai lokasi jam setengah lima pagi langsung kami berdua masak Indomie dengan kompor parafin dan perlengkapan yang kami bawa. Tidak lupa kami membuat kopi untuk manasin perut dan sambil nunggu pagi kami ngopi sama udut. Matahari mulai terbit dan langit timur mulai terang, satu dua orang mbokdhe-mbokdhe mulai pada keluar rumah dan menyapu kebon. Angin belum berhembus hingga pepohonan anteng dan mulailah satu dua pergerakan yang sedari tadi tak tunggu-tunggu. Kemthul-kenthul pepohonan rantingnya mulai bergerak tanda ada bajing mencari makan. Kami mulai asik golek pangan dewe-dewe dan plak-plok bola bali bedil kami bergantian ngeplaki bajing. Sampai sekitar jam setengah delapan pagi para bajing sudah mulai rada giras, dan gantian suara manuk deruk gayeng bersahutan rame di pepohonan terutama di pohon kelapa. Leren mbedili bajing terus dikumpulkan ternyata dapat tujubelas ekor dan selesai disandati kami terus mubeng lagi karena penasaran dengan suara deruk yang rame banget bersautan. Dan benar saja ternyata banyak sekali manuk deruk yang pada menclok di blarak kelapa dan satu pohon kelapa isinya rata-rata lebih dari dua ekor. Manuk deruk disini kelihatanya jarang sekali diambah penembak karena masih kuthuk-kuthuk ndak lari kala dicedaki dan dengan teknik nyogok blarak kami berdua mulai mbedili manuk deruk  dan leren le mbedil bajing. Teknik nyogok blarak adalah teknik mbedil deruk dengan berposisi di bawah pohon kelapa dan nginjen dari bawah blarak dan apabila siluet bayangan manuknya sudah ketok tinggal bidik dan tembak diliwatke sela-selo blarak, apabila beruntung tembakan masuk ke sela-sela blarak tapi kalau lagi ngak pas terus kena blaraknya minimal pluru rekloset mengenai bagian sayapnya dan kalau pas apes ya kena lidinya plurunya bablas rakaruan dan sasaran miss atau luput.Dengan teknik ini kami berdua sukses nibakke sekitar duapuluhan ekor dan dari pengamatan kami burung deruk yang lainya ternyata pada turun cari makan di sekitar sawah berundak di sebelah timur desa. 


Deruk Sobo Ngalengan Siap di Bedils

Tak tututi sampai wetan ndesa ternyata mereka sudah kumppul di sana dan ternyata wis rame banget kaya pada arisan. Lihat lokasinya hati kami semakin berbunga-bunga karena sebagai gambaran lokasinya adalah lahan sawah berundak dengan galengan yang tinggi sekitar delapan puluh senci sampai satu meteran, sepanjang galengan ditanami rumpit kolonjono yang tumbuh pendek karena sering dipotong untuk pakan ternak. Lebar masing-masing sawah rata-rata dibawah tiga meter hingga terlihat njlarit memanjang dan waktu itu masih berupa lar-laran dan sebagian sudah ditanami kacang. Kalau yang kayak begini ini baru namanya nyenegke wong mbedil, jarak tembak tidak jauh delikan galenganye tinggi hingga tidak perlu mbrangkang untuk nyedaki sasaran nyari jarak tembak. Kami mulai nggerilya dari bawah dengan bermodal potongan pohon singkong yang masih ada daunya untuk penyamaran kami kala mengintai. Daun singkong kami naikkan pelan-pelan baru kepala kami nongol dari bawah galengan hingga keberadaan kami tersamar dari balik daunan singkong hingga manuk tidak mabur karena jarak kami yang dekat dengan sasaran. Mulailah kami naik sambil mbedili setingkat demi setingkat sambil kami ngambili hasil bedilan terus naik dimana posisi saya di timur, Lek Wiji di barat. Bergantian kami mbedili deruknya dan ternyata mereka hanya pindah ke kiri dan kekanan sambil terus naik ke tinggat yang lebih atas. Sampai diatas hasil bedilan tak kumpulkan ternyata jumlahnya seratus lebih. Sambil turun kami pakai teknik yang sama cuman bedanya ini dari atas ke bawah dan kami banyak terbantu oleh rerumputan kolonjono yang ditanam sepanjang galengan hingga keberadaan kami lebih tersamar.


Beberapa Puter Lumut Juga Ikutan

Sampai rada siang acara mbedili deruk masih saja berlangsung ramai. Rombongan manuk deruk masih saja berdatangan hingga kami keasikan terus mbedili hingga tak terasa hasil buruan kami sudah cukup banyak mencapai jumlah tigaratusan ekor lebih. dan setelah kami perhatikan ternyata tidak hanya burung deruk biasa tetapi juga ada beberapa ekor burung puter lumut yang ikutan kebedil. Burung puter lumut bentuk dan warnanya mirip manuk deruk tetapi perbedaanya kalau manuk deruk warna tubuhnya abu-abu blorok di bagian sayap dan kalung lehernya bertotol putih dan kalau puter lumut berwarna abu-abu polos dengan kalung leher dua garis hitam dan putih diatasnya. Ada juga beberapa ekor burung dlimoan yang berwarna hijau dengan paruh merah mirip manuk kathik tetapi lebih pendek buntutnya dan mencari makan di tanah tidak seperti manuk kathik yang makan di atas pohon. 


Manuk Dlimukan 
Manjelang siang kami pulang karena kami rasa hasil buruan kami sudah cukup, padahal kalau dituruti sasaran buruan masih banyak yang sesobo disitu. Akhirnya hanya beberapa kali saja kami baleni lokasi ini kerana ketoke kok sayang nek banyak-banyak kita ambil. Sesekali kita kesanapun biasanya hanya mengambil paling poll duapuluh ekor untuk dibacem sisanya diturahke untuk lain waktu. Sampai sekarang lokasi itu masih saya sengker nanti ndak diabul-abul penembak lain apa malah sekarang sudah punah ya..., Muga-muga belum..

Selasa, 11 Februari 2014

Penembak Jadul 11. ( Marani Kalong malah panen Manuk Kathik di Pathuk Gunung Kidul )


Pesanggrahane Mak Lampir 
serem dehh


Nyambung ceritaku yang lalu, setelah punahnya kalong di Jatinom Klaten kebetulan pas saya njagong manten teman kantor di daerah Patuk Gunung kidul sempat saya ndobos sama penduduk setempat. Dari crito ngalor ngidul sampailah pada topik permbedilan dan saya tak pernah bosan takon-takon mengenai kewan buron yang mungkin ada di daerah sekitar situ. Dari cerita patner perndobosan saya ternyata di makan selatan desa ada kramatan dan ada beberapa pohon unut atau bulu besar yang pada saat berbuah biasanya juga disobo kalong dan katanya juga masih sering lihat luwak do sesobo di pohon gede itu. Wah cocok tenan iki dinama kalong jatinom sudah rodo punah malah dikandani lokasi baru terus kemrungsung pengen cepet-cepet niliki tetapi kalau saya langsung niliki ke situ kelihatanya kok kurang sreg karena waktu itu barengan sama konco-konco kantor dan saya putuskan kapan-kapan saja tak survey nglegakake wektu bareng Lek Wiji.

Beberapa minggu berikutnya akhirnya saya sempatkan survey kesana bareng Lek Wiji siang siang lewat jalan Piyungan naik sampai Polsek Pathuk keselatan dekat pemancar RCTI terus keselatan sampai desa dan makamnya ternyata di selatan desa. Bener juga  disamping makam seren juga ada Kramatan entah Kramatannya sapa tapi yang buat saya ayem karena memang ada beberapa pohon Bulu atau penduduk stempat menamakan pohon Unut besar besar dan memang sepanjang pengetahuan saya kalau pas berbuah biasa disobo kalong dan lokasinya nyenengke tenan. Puas survey ke lokasi tersebut saya terus bablas nderuk di sekitar Wonogomo dan pulang dengan beberapa ekor deruk, dlimokan dan dua ekor bubut alang-alang. 

Lama nunggu pohonya berbuah saya terus mbedil sakentuke sampai akhirnya dikabari kalau di daerah Sungapan Sedayu Bantul, pohon Bulu yang ada di kuburan juga pas berbuah jadi saya terus kangsenan sama Lek Wiji untuk niliki dan benar saja di daerah Sungapan dimana kuburannye terletak di dekat tempuran kali Sedayu dan Sungai Progo ada pohon Bulu yang baru berbuah dan kalongnya juga ada. Saampai lokasi belor tak uripke, kalong kaget babalas mabur semua ternyata banyak juga. Tak tunggu lama baru balik satu dua itupun setiap kali tak belor langsung bablas mabur, wah tobat kie harus pakai teknik gimana ya... Mau pakai teknik kayak di Jatinom tak rasa tidak mungkin karena pohonya daunya banyak dan waktu itu tidak terang bulan lagian juga si kalong kalau mencok terus ngremet masuk ketengah jadi tidak kelihatan. Akhirnya saya coba senter atau belor pucuknya tak tutupi kertas dan bagian agak samping tak bolong kecil dan dengan cahaya kecil itu tak teroboske ke arah si kalong dan ternyata matanya masih kelihatan menyala dan kalongnya tidak mambur dan akhirnya Ploookkk.  bebrapa kali bedilku dan bedil Lek Wiji bernyanyi ngeplaki kalong dan malam itu aku point empat ekor tak bagi dua masing masing nibakake dua ekor. Pulang dari Sungapan lantas saya ingat kalau masih punya lokasi di Pathuk belum tak samperi dan mungkin disana pohon Bulunya juga pas berbuah. Saya terus rencana mangkat kesana dan terus persiapan sambil nunggu cuaca baik karena tiap malam hujan. 



Surup - surup kalonge 
do sesobo, gayenkk

Akhirnya jadi juga saya mangkat kali ini bareng si Agus adik ipar saya dan lek Karmiyo sama si Suprih saudarane istri saya ngenceng grimis - grimis nekat sampai sana pas surup jan monton kalonge do pating sliwer sepertinya menjanjikan tenan tapi karena masih sore jadi belum pada mencok. Tak tunggu sampai malam bukanya kalong yang datang tapi malah ujan deres poll. Kami ngeyup di cungkup atau rumahan makam berisi kijing kijing yang kondisinya bocor sana-sini mana lantainya basah. Tak tunggu lama hujan tak mau berhenti, karena ndak mungkin dilanjut kami putuskan pulang saja tapi hujanya masih deres banget. Lek Karmiyo nekat pulang hujan-hujan katanya nanti kalau nunggu terang malah ngak bisa pulang tanpa bilang alasanya. Mereka berdua nekat nglebus sedangkan kami tetep bertahan berteduh disitu. Ndak lama hujan berhenti tapi kalong sudah kagol ndak jadi datang dan kami putuskan pulang, bener tenan kata Lek Karmyo saya sama Agus akhirnya ndak bisa pulang karena jalan super becek, roda sepeda motor jadi nggedebol kebak lempung ndak bisa muter dan akhire kami ndak jadi pulang dan terpaksa nginep di kuburan serem tenan.. Semalam ndak bisa tidur klisak-klisik mau baring ndak ada tempate, si Agus dasar cah ndableg sambil ngeloni kijingun dia bisa tidur. iseng-iseng saya nyenter-nyenter keluar kok pas ndilalah di cungkup sebelah ada bangku bersih di terasan cungkupe. Segera saya parani dan kelihatanya bersih tanpa pikir panjang langsung ngletak coba tidur nunggu pagi. Baru sebentar mak ler  rasane kayak dioyog-oyog tur ngimpine serem-serem. Jenggirat bangun saya nyenter kebawah ternyata ada tutup mlumah, guandrikk ternyata saya tidur di bandosa mulanya kaya dioyog-oyog tur ngimpine serem-serem. Akhire saya melek sampai pagi. Repet-pepet kami toto toto mau pulang dan pas keluar dari cungkup kami kaget lihat keatas mak byunggg manuk katik buanyak tenan mabur dari pohon Bulu dan masih ada beberapa yang tinggal. Langsung saya kembali masuk ke cungkup untuk sembunyi dan ngindik indiki terus mbedili.



Manuk Kathik
mangani woh Bulu

Burung katik satu dua mulai kembali datang makani buah Bulu kami berdua terus inisiatip mbukak beberapa genting cungkup untuk nginjen dan mapanke bedil . Kami berdua terus mbedili sampai keasikan hingga pelurune sekaleng meh habis. Sampai hampir jam sembilan pagi kami terus mbedili hingga peluru bener-bener habis. Saking kepepete si Agus tak suruh beli peluru dus-dusan karena buruan masih banyak. Pas si Agus keluar masih mak byung banyak burung yang mabur dan mumpung sepi tak coba ambili dan tenyata sekitar cungkup kijingane jadi hijau kabeh saking banyaknya burung yang ketembak. Tak kumpulke sampai sak tumpuk hingga si Agus datang bawa peluru dan panganan untuk ganjel perut. 



Manuk Kathik lanang 
sirahe rada klawu

Rampung makan panganan seadanya dan dengan modal peluru dus-dusan tak lanjutke mbedili walaupun sudah ndak seramai tadi tapi masih poin banyak juga. Teorinya kalau mbedil manuk Kathik bedil dulu yang lanang nanti yang betinanya ndak mabur jadi bisa dibedili lagi , tapi kalau yang kebedil yang betina dulu, jantanya langsung mabur dan yang lainya ikutan mabur. Sampai akhir saya mbedil tak etung hasilnya sekitar empatratus tigapuluh satu ekor dan sampai saya harus beli ember besar untuk wadahnya. Pulang sampai rumah sudah agak siang tapi dengan hasil yang memuaskan. Ora rugi le ndadak turu neng bandosa dioyag-oyag sama mimpi serem. Untuk lokasi ini sekarang tak sengker tenan endak tak umumke ke publik biar bisa dibolan baleni dewe. Urik yo bennnn....