Rabu, 07 November 2018

Penembak Jadul 16. ( Lanjutan Ekspedisi Sumatra "Ngetutke Pemburu Tradisional di Jambi Sesen 2")

Hari berganti malam kala saya lihat arloji menunjuk pukul setengah sembilan dan bergegaslah ngenceng menuju rumah Pak Paidi untuk nyidakke le kangsenan mbelor hari ini. Sampai rumah Pak.Paidi beliaunya juga sudah mulai toto-toto menyiapkan peralatan berburunya dari mulai bedil kecepek andalanya , sepatu bumbung, parang golok, air minum sampai dengan bekal makan malam. Tidak lupa lampu belor yang ternyata bukan menggunakan energi listrik atau aki tetapi masih sangat tradisional dengan menggunakan daya penerangan dari api dengan bahan bakar karbit yang dicampur air hingga menghasilkan gas yang ditampung dalam kaleng disalurkan dengan selang kecil dinyalakan di revlektor kuningan dari bekas revlektor lampu mobil lama yang terlebih dahulu harus dibrazo biar mengkilat dan lebih terang cahayanya. Alat seperti ini kalau di jawa biasa disebut Pethor dan biasane untuk nyuluh kodok. Dengan alat seperti ini opo yo isoh weruh kewane karna disamping kurang padang juga jarak jangkauanne pastilah tidak akan jauh. Tak tanyakke ke Pak. Paidi beliaunya beralasan kalau pakai alat ini sasaran akan lebih jinak tidak bedigasan karena cahaya kuning dari revlektor kuningan membuat kewan lebih tenang tidak waspada walaupun memang jarak jangkauan penyinaran jadi lebih terbatas. Wehhhhh tambah ilmu anyar ki...

  Lampu Karbit dipasang dikepala


Seperti biasanya saya nyangking bedil Cis, lampu halogin handlamp dengan aki kering 12 volt, senter cadangan dan tidak lupa sepatu bumbung dan botol minum. Berangkat jam setengah sepuluh bertiga dengan dua sepeda motor, saya boncengan dengan kang Maryono sedangkan Pak Paidi pakek motor sendiri. Sampai lokasi kami parkir sepeda motor terus dilanjut jalan kaki nrobos kebon karet sambil mbelor kanan kiri dan sesekali ketemu kewan cilikan dari mulai luwak, rase juga blacan dan kolo-kolo ketemu burung hantu gede dan ternyata masih komplit dari dua jenis yang saya ketahui dua-duanya masih bisa ditemukan di sini. 



Gogok Beluk

di Jawa masih ada 





Gedubuk Jali 
Pakai kaos kaki 


Terus kami berjalan sambil mbelor kiri kanan sampai dengkule murup melet-melet tapi belum ketemu sasaran juga. Sampai batas kebun karet dan kebun sawit mulai kelihatan beberapa kali kelebatan pantulan sinar mata dari rombongan babi hutan alias celeng yang sesobo sak keluarga akeh tenan mungkin bisa malah sak trah. Bedil tak kongkak tapi dicegah oleh Pak Paidi katanya suara tembakanya nanti akan ngusahi kewan yang jadi target utamanya dan sakumpama bisa kebedil nanti akan membebani perjalanan selanjutnya karena berat untuk membawanya. Akhire rombongan celeng saya biarkan berlalu dan hanya saya kasih say hallo dan saya lanjut jalan lagi. Belum lama berjalan saya kembali menemukan kewan sek rupane apik tenan perpaduan antara warna hitan dan putih dengan bulu ekor njeprak ke atas besarnya sebesar kucing. Ora sronto terus nyaut bedil angin yang dibawa kang Maryono terus langsung tak kejar, Pak Paidi kembali ngelekke tapi kali ini tidak saya hiraukan karena bedil angin suwarane ndak keras lagiyan kan pakai peredam juga kewane apik tenan penasaran aku pingin ngopset dan majang di rumah. Bedil tak pompa kewan tak bidik tepat terus tak tembak tepat di kepala dan kewanpun langsung kekejek mampus segera tak dekati mau tak ambil, ndilalahe sebelum tak ambil pak Paidi mbengoki saya mencegah saya untuk tidak ngambil kewan itu karena ternyata kewan itu adalah Telgu atau senggung yang sangat bau bila kentut, dan benar saja sebelum takambil kewane sempat ngentut ambune juan pooool marahi muntah sama raisoh napas. Untung belum sido takambil, nek sido tak ambil lak yo parah, katanya baunya kalau nepel di baju tidak bisa ilang dan pakaian harus dibuang. Untung-untung , mangkane kalau di hutan jangan waton openan....




Telgu bin Senggung
Entutmu mambune koyo entute penulise


Hampir tiga setengah jam berlalu perjalanan kami menembus hutan alas tutupan sampai tembus lagi kebun karet barulah yang kami cari-cari bisa kami temukan. Kilatan mata hijau dengan posisi yang tinggi kami yakini itulah kilatan mata dari rusa sambar yang kami cari-cari. Segera Pak Paidi menyiapkan bedil kecepeknya begitu juga dengan saya yo melu melu ngongkak bedil cis sapa tau nanti diperlukan untuk mindoni. Lampu karbit dinyalakan dan pak Paidi bergegas berjalan kearah kewan tersebut yang ternyata telah bergeser posisinya menuruni punggungan jagang. Saya mengikuti di belakang beliau dan memang kewane besar tenan meh sebesar sapi tanggung berwarna coklat kehitaman dengan bulu rada gondrong sayang tanduknya belum panjang. Ternyata benar kata pak Paidi kalau dibelor dengan cahaya lampu karbit kewane tidak bedigasan buktinya kami bisa mendekat sampai jarak limabelas meter bahkan bisa semakin dekat. Disaat jarak tembak sudah memungkinkan senapan segera diarahkan, dibidik dan tak lama duarrrr letusan kecepek membahana memenuhi ruang hutan dan kewan sasaran mumbul njondil-njondil negar mblandang. Kang Maryono nututti kami berdua terus barengan nggoleki arah perginya kewan sasaran dan untungnya hutannya tidak terlalu lebat hingga tetesan darah kewan buruan bisa kami ikuti. Sekitar jarak seratus meter dari tempat kami mbedil akhirnya ketemu kewan buruan dan ternyata lagi masih hidup thenggel-thengel tapi sudah tidak bisa nbangun. Pak Paidi segera ngiseni bedile dengan obat, pemantik dan peluru dan ndilalahnya kewan buruan berusaha bangun meh mlayu. Spontan saya nyedaki sampai jarak lima meteran terus bidik tenggah-tengah antara dua mata dan walaupun ora pati yakin dengan bedil cis saya tetep wae bedil taktembakke dan ternyata kewane ambruk juga. Wehhh klakon juga nibakke Rusa Menjangan walauoun cuman mindoni, tambah pengalamane...

 Ilusstrasi kiro-kiro beginilah 
gambare rusa menjangan

Rampung ngebrukke rusa buruan, kami bertiga terus sambatan ngeret-eret hasil buruan dibawa ke tempat yang rada padang dan tenggar. walaupun cuman deket tapi karna kewane gede ternyata berat tenan dan kami bertiga nganti melet-melet dan setelah sampai tempat yang terbuka terus kami berembug dan disepakati kami pulang duluan dan pak Paidi nunggu buruan biar tidak diambil macan sambil kami nanti mbaleni dengan membawa teman sebagai bala bantuan. 

Dari lokasi sampai tempat kami naroh sepeda motor ditempuh kira-kira meh satu jaman dan sepanjang perjalanan karena hari meh pagi kembali saya ketemu kewan kewan hutan yang cantik-cantik. Dimulai dari si Kukang kewan berperangai halus klular-klulur dan juga ketemu trenggiling yang terus ditendang sama kang Maryono langsung nggulung jadi kaya bola. Trenggiling terus dicangking dicekeli buntutnya dan katanya enak daginggnya untuk dimasak. 

Kukang klular-klulur
pemalas
Trenggiling pemakan semut


Sampai di lokasi motor hari sudah mulai pagi di timur sudah rada padang tak liat jam sudah pukul empat lebih sepuluh pagi dan segera nggeblas pulang ke kampung nyangking trenggiling terus sampai rumah tak wadahi tong bekas drum air biar ndak ngabur. Barang-barang tak turunke terus reresik awak lanjut golek konco buat njemput pak Paidi. Ketemu sudah tiga orang tetangga rumah dan berangkatlah kami berlima jam setengah enam dan akhirnya sampai di lokasi dengan motor Tosa roda tiga. Sepanjang perjalanan kembali saya absen kewan-kewan yang ada di kiri kanan jalan yang kami lalui. Diantara yang kami temui adalah beberapa rombongan kera Beruk yang ekornya pendek badanya besar berwarna coklat kemerahan disamping beberapa grup kera ekor panjang. Selain beruk ada juga kera Simpai berwarna cerah keputihan dan ada juga sang kancil dan bebrapa burung rangkok.



Ketemu sedulur lawas Mas Berux


Koh Sim Phai juga ada
 
 Kancil Nyolong Timun

Rangkok yang cantix



Sampai di lokasi kewan buruan ternyata sudah mulai dicicil dikuliti oleh pak Paidi dan dengan bantuan kami akhirnya selesai kita menguliti kemudian dipotong-potong dan diangkut dengan motor Tosa dan akhirnya sampai di rumah untuk selanjutnya dijual dengan harga tujuhpuluh lima ribu perkilo dan sebagian dibagikan pada kami dan kawan-kawan yang membantu. Tanduk dan sedikit kulit saya minta untuk saya bawa pulang ke Jawa sebagai kenang-kenangan dan pajangan di tembok rumah. Enam hari lamanya saya berlibur sambil ngosek buruan di Jambi sisan tilik Mbokdhe rasanya kok masih belum cukup, sayange masa cuti wis habis dan saatnya pulang, see you.. nex time.. (ethok-ethoke ngganggo boso londo ben rodo kekinian) ihierrrr....